Sinopsis Bukuku Kakiku (C&P)






Judul Buku : Bukuku Kakiku
Editor : St. Sularto, Wandi S. Brata, Pax Benedato
Diterbitkan Oleh : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Penerbitan : 2004
Muka Surat :437

I. Ringkasan

 I.1Buku dalam Hidup Saya (Ajip Rosidi)

Buku bagi saya adalah kebutuhan. Buku menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian saya, terutama sejak saya drop out dari SMA. saya ingin membuktikan bahwa saya bisa hidup tanpa ijazah. Untuk itu, saya harus membaca buku sebanyak-banyaknya, lebih dari yang dibaca oleh mereka yang tamat SMA. Saya yakin kalau saya memperlihatkan prestasi sebagai hasil bacaan saya, saya tidak akan menemui kesulitan dalam hidup.

I.2Huruf demi Huruf (Ariel Heryanto)

 Kebudayaan baca-tulis berpijak pada hal-hal yang bersifat material, jasmaniah, dan historis di lajur kendali dan pilihan hidup orang. Pengalaman buruk terutama di masa orde baru ketika 2000 lebih judul buku dibakar berdampak besar pada paradigma masyarakat Indonesia terhadap buku.

Andaikan melek huruf telah memberdayakan dan membudayakan lebih banyak rakyat Indonesia, sulit membayangkan masih akan berkobar nafsu membakar buku orang lain. Jika merasa “terbakar” oleh isi tulisan orang lain, mereka yang melek huruf tentunya lebih suka mengangkat pena dan berpolemik.

I.3Membaca dan Menulis Sebuah “Personal Account” (Azyumardi Azra)

Bagi saya, karya-karya sastra memiliki makna dan fungsi tersendiri. Saya merasa, membaca karya-karya sastra membuat manusia lebih human, lebih manusiawi, dan lebih arif dalam memahami masalah-masalah dan sekaligus misteri-misteri anak manusia.

Bagi saya, membaca dan menulis tidak bisa dipisahkan ; membaca, mengendapkan semua yang dibaca, merefleksikannya, lalu menuliskannya dengan mempertimbangkan konteks dan relevansinya dengan lingkungan sosial yang terus berubah.

Membaca dan menulis memerlukan etos, komitmen, dan konsistensi. Terdapat cukup banyak orang di kalangan kita yang rajin membaca, tetapi tidak punya etos dan keterampilan menulis. Ada juga yang punya keterampilan menulis, tetapi tidak atau kurang memiliki etos, komitmen, dan konsistensi baik dalam membaca dan menulis.

I.4Ortu, Guru, dan Buku (Benjamin Mangkoedilaga)

Kegemaran membaca buku akan lebih berkembang bila disertai dengan penguasaan bahasa. Meski demikian kegemaran membaca adan mempelajari bahasan haruslah dilandasi dengan ketekunan dan minat yang tinggi karena umumnya butuh waktu yang amat panjang. Kita pun harus menyadari bahwa pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang kita peroleh, terutama melalui pendidikan formal, selalu terasa tidak memadai.
Dunia terus berputar, pengetahuan dan ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai zaman, dan bagi orang yang bijak tidak ada batas usia untuk tetap belajar dan menuntut ilmu atau memperluas dan mengembangkan wawasan.

Saya masih ingat petuah salah seorang guru besar saya Prof. Dr. Mr. Hazairin bahwa tidaklah perlu buku-buku yang kita miliki itu pernah kita baca semuanya. Yang penting adalah kita harus dapat menemukan penjelasannya dengan cepat saat kita memerlukannya.

1.6 Budaya Bahasa (Daoed Joesoef)

Demokrasi hanya akan berkembang di suatu masyarakat yang warganya adalah para pembaca, bukan hanya sekedar pembicara. Hal tersebut wajar karena dalam demokrasi pasti terdapat kehidupan politik yang berpasangan dengan individu otonom yaitu seseorang yang tidak berjiwa bebek, mampu berpikir, dan bertindak sendiri.

Modal bagi pembentukan individu otonom ini adalah kebiasaan membaca dan hal-hal lain yang berkaitan. Jadi, arti konstruktif dari kegiatan membaca baru muncul jika dikaitkan dengan kegiatan menulis.

Bagi Saya, membaca dan menulis bukan hanya hobi tapi sudah menjadi kebutuhan pokok. Dengan sadar dan sengaja saya menganggarkan uang dan menyediakan waktu untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Secara nasional, masalah tersedianya perbukuan nasional bisa terpecahkan jika budaya baca di masyarakat kita sudah berkembang. Karena pembudayaan itu membutuhkan waktu yang relatif lama, konsistensi dalam penilaian dan penghargaan, keteladanan alami dan bisa yang dibiasakan.

Konsekuensinya, budaya baca harus dimulai di rumah, sedini mungkin. Membaca harus dibiasakan oleh orangtua pada anak-anak, sehingga hal itu dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang harus dicari.

1.7 Bukuku, Surgaku (Franz Magnis – Suseno)

Saya ingat kebiasaan Ibu selalu membacakan sebuah buku untuk anak-anaknya setiap malam. Dalam keluarga, ibu paling hebat dalam membacakan buku dengan cara menyampaikan yang baik.

Dari kebiasaan itu, kami sekeluarga sejak kecil sudah menjadi pembaca yang rajin. Buku-buku yang ibu berikan kepada saya untuk dibaca adalah buku-buku petualangan. Lalu seiring usia, secara bertahap saya membaca buku-buku yang lebih ilmiah dan saya sangat menikmatinya.

Membaca benar-benar menjadi surga buat saya, karena dapat memperluas cakrawala, merupakan pelepasan emosional, dan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan. Membaca juga berarti membiarkan diri ditarik keluar dari penjara perhatian yang berlebihan pada diri sendiri, melihat dunia, manusia, mengalami tantangan, terangsang dalam fantasi, dan semangat dalam melakukan sesuatu.

Salah satu efek samping dari buku-buku adalah bahwa saya dapat berkenalan, meski dari sudut pandang para penulis, dengan sebagian kecil sastra di seluruh dunia.

1.8 Pembelajar dan Pelayan Melalui Buku (Jonathan Parapak)

Sewaktu kecil, saya tak pernah bersentuhan dengan buku. Baru saat SMP saya mulai berkenalan dengan buku-buku pelajaran sederhana. Walaupun tak memiliki buku-buku referensi tambahan, untungnya saya mendapat beasiswa Colombo Plan untuk studi ke Australia.

Di sini peranan buku sangat membantu. Semangat saya untuk belajar dari membaca buku-buku bukan hanya yang menyangkut masalah kuliah tapi juga menyangkut masalah lain. Membaca buku dan belajar seumur hidup merupakan suatu keharusan bagi setiap orang untuk terus bisa mengikuti perkembangan di bidang yang digelutinya.

Lalu saya menemukan sebuah fakta yang aneh, yaitu semakin banyak kita membaca buku dan belajar, semakin kita sadar bahwa banyak sekali yang tidak kita ketahui. Semakin banyak buku yang dibaca, semakin kita sadar bahwa kita bisa berkenalan tanpa perlu bertatap muka sekaligus belajar dari pemikir dan pakar unggulan dunia.
Bergumul sendirian akan sangat melelahkan dan mungkin pula berakhir dengan frustasi. Oleh karena itu, belajar dari buku-buku yang ditulis oleh para pakar dan penulis unggulan dunia akan sangat bermanfata bagi pengembangan wawasan dan kompetensi profesional serta kearifan dalam menghadapi begitu banyak masalh dan tantangan.

1.10 Peranan Buku dalam Hidup Saya (Lin Che Wei)

Ada tiga pengalaman yang membuat saya tertarik kepada buku. pertama dan utama adalah bagaimana buku telah mempengaruhi hidup saya baik dalam perjalanan karier saya maupun dalam pembentukan karakter. Kedua, berdasarkan pengalaman saya sebagai seorang yang pernah mencoba menjalankan bisnis toko buku dan mengamati pengaruh buku terhadap suatu bangsa. Ketiga, sebagai hasil pengamatan saya sebagai seorang ayah di mana buku telah sangat berguna sebagai alat untuk mendidik dan berinteraksi dengan kedua anak saya.

Meskipun bisnis buku saya berumur pendek, pengalaman membuka toko buku telah membawa saya ke berbagai pelosok dunia, antara lain India dan Jerman. Saya mengamati bahwa keberhasilan India dalam menanamkan kecintaan terhadap buku disebabkan oleh besarnya dukungan politik. Di India, saya melihat bagaimana minat baca sangat besar dan buku bisa dijual kepada masyarakat dengan sangat murah.

saya merasakan bahwa membaca buku lebih mengembangkan imajinasi, dan hal ini membuat saya menjadi lebih kreatif. Menurut saya, buku yang baik adalah buku yang memiliki tiga karakteristik penting. Pertama, buku tersebut dapat menghibur dan mengasyikkan. Kedua, buku tersebut harus mempunyai fungsi mengajarkan sesuatu. Ketiga, buku tersebut harus membuat kita tergerak untuk melakukan atau mempraktikkan sesuatu.

1.11 Pada Mulanya Sebuah Buku (Melani Budianta)

Saya percaya bahwa keasyikan membaca buku-buku berawal dari keasyikan masuk ke dunia cerita. Kepercayaannya ini diperoleh sebagaimana latar belakang masa lalunya serta lingkungan keluarganya.

Saya ikut menyoroti zaman di mana buku-buku hidup dalam masa kesaktiannya. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, saya khawatir bahwa puncak kemapanan buku-buku sudah lewat. Ancaman tehadap dunia perbukuan yang lebih serius bukan datang dari teknologi, melainkan dari manusia yang dikhawatirkan kurang terdorong untuk membaca.

Menurut Saya, perlombaan melek huruf tidak akan menghasilkan generasi pecinta buku jika membaca sekedar menjadi sarana untuk memamerkan nilai rapor peraih ranking. Hal yang terlupakan adalah hilangnya keasyikan proses membaca itu sendiri dan keasyikan mengalami keajaiban yang datang dari buku-buku. Proses mengalami buku dapat muncul dari, menyaksikan keajaiban cerita yang muncul dari baris-baris hitam di atas halaman buku-buku, merasakan keakraban sensori dengan unsur-unsur kebendaan buku itu sendiri dan mengalami fungsi sosial dengan buku.

1.13 What Makes You Tick (Miriam Budiarjo)

Miriam telah mengalami tiga zaman, yaitu zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan kemerdekaan. Pada zaman kolonial Belanda, saya menemukan jurang yang besar secara global antara dunia “Barat” dan “Timur”.

Pada zaman pendudukan Jepang, rasa nasionalisme membuat Miriam menjadi orang yang sangat sadar politik. Pengalamannya bertemu dengan tokoh-tokoh dunia dan kesempatan menimba ilmu di luar negeri membuat ia tertarik dengan ilmu politik dan mulai mendalaminya.

Dari pengalamannya menjadi “Saksi Tiga Zaman”, boleh dikatakan gaya menulisnya tidak terpengaruh oleh tokoh tertentu, tetapi oleh keadaan sekeliling yang beberapa kali berubah secara drastis. Pengalamannya menimbulkan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai pengalaman praktis juga telah memupuk kepeduliannya pada masalah politik.

1.14 Dari Rumah, Karakter, Dari Buku, Cakrawala (Mochtar Pabottinggi)

Awalnya, sang Ayah menjadi sosok yang sangat mempengaruhi karakter Mochtar. Cakrawalanya pertama kali terbuka lewat buku teks Bahasaku. Buku itupun mengintenskan kecintaannya pada bahasa Indonesia dan dorongan untuk selalu berusaha menggunakannya secara baik dan benar.

Ia juga mengikuti majalah Prisma, Basis, Encounter, Budaja Djaja, Horison dan Dialogue, harian Kompas dan Indonesia Raya untuk merangsang kehidupan intelektual dan kesusasteraannya. Melalui pengalamannya di mancanegara, ia melahap berbagai macam buku untuk memperkaya pengetahuannya. Selanjutnya ia mulai menulis berbagai puisi dan disertasi.

Menurutnya, karakter dan cakrawala merupakan hasil internalisasi dari rumah, lingkungan-pengalaman, dan buku-buku sebagai hasil dialektika yang dinamis. Ayah menjadi sosok yang sangat mempengaruhi karakter Mochtar. Cakrawalanya pertama kali terbuka lewat buku teks Bahasaku.

1.15 Saya dan Buku dan Teater dan Musik dan Koran dan Seterusnya (Remy Sylado)

Awalnya sosok Remi menjadi seorang kutu buku dikarenakan lingkungan tempat tinggalnya yang cukup terisolasi dan tak tersentuh peradaban kota. Meski senang bermain musik, Remy muda tidak malas membaca buku.

Buku pertama yang paling berharga baginya adalah Anthology of Japanese Poems oleh Miyamori Asataro.Meski senang bermain musik, Remy muda tidak malas membaca buku. Barulah ketika menemukan Buku cerita The Pilgrims Progress karya John Bunyan, ia terdorong untuk mulai menulis.

Dengan buku, bukan hanya sastra, melainkan musik, senirupa dan teater yang ia bangun melalui pementasan-pementasan menjadi suatu keterpaduan yang mufrad. Menurut Remy, tampaknya hanya buku yang paling pantas diceritakan dengan bangga oleh manusia beradab.

Ia juga mengutip pendapat yang dicetuskan oleh Sun Yat Sen bahwa yang sesungguhnya membedakan manusia dengan hewan adalah buku.

 1.16 Dengan Buku Menjadi Otodidak Sepanjang Hayat
 Oleh: Rosihan Anwar

Kecintaan Rosihan pada buku berawal pada saat mengikuti Kegiatan belajar di bawah asuhan Meneer Jan. Kegiatan tsb. membuat ia rajin membaca buku tentang sejarah dan agama Islam yang ada di bibilotiknya. Dengan demikian ia mendapatkan sebuah dimensi baru dalam pengetahuannya.

Kini, Ia mengaku sudah tua, tetapi masih bisa membaca. Buku penting bagi pencerahan diri. Dengan membaca buku, ia mendidik dirinya sendiri. Ia tidak menyandang gelar kesarjanaan. Ia otodidak. Dengan buku ia menjadi otodidak sepanjang hayatnya dengan segala keterbatasannya.

1.18 Ambil dan Bacalah (Sindhunata)

Betapa luas kesempatan yang diberikan sebuah buku untuk mengembangkan kreativitas kita. Jelas membaca itu bukan suatu proses yang steril dan pasif belaka, tetapi proses yang aktif dan kreatif. Akan tetapi, membaca bukan hanya suatu proses pergulatan kreatif yang berat, melainkan juga proses yang indah dan romantis.
Menurut Proust, membaca adalah sesuatu yang berkaitan dengan subjek, yaitu pembaca. Di sini pembaca tidak terlalu peduli, apa isi dari buku yang dibacanya. Yang penting, buku itu bisa membangkitkan, merangsang, dan menyenangkan kerinduan yang ia punyai dalam dirinya.

1.19 Guru di Luar Kampus (Sudhamek AWS)

Saat kita tenggelam dalam bacaan, saat itu seolah-olah buku telah berubah perannya menjadi seorang guru yang sangat efektif mengajar bahkan membentuk pola pikir kita karena pada saat itu hambatan psikis hampir tidak terjadi sama sekali.

Intinya, buku, sebagai “guru”, sangat efektif untuk mengubah suatu keadaan, yaitu dari tidak tahu menjadi tahu. Sesungguhnya ini adalah esensi proses pembelajaran (learning proses). Peran ini sangat efektif dijalankan oleh buku yang kita baca dengan sungguh-sungguh, karena buku menjadi suatu alat yang baik sekali bagi pembacanya.

Wajar saja karena sewaktu kita membaca ada sebuah proses interaktif antara pikiran pembaca dengan pikiran pengarang secara langsung melalui indera penglihatan kita. Proses itu terjadi dengan efektif, sehingga pikiran, pandangan, konsep, dan segala sesuatu yang dituangkan oleh penulis ke dalam bukunya akan mengalir secara bebas hambatan ke dalam pikiran si pembaca menembus batas-batas privacy-nya.

1.21 Sekolah, Buku, dan Seuntai Kenangan (Taufik Abdullah)

Sastra bukan harapannya memang, tetapi lewat sastralah Taufik mulai merasakan nikmat berkenalan dengan dunia teks. Kini ia ingat juga bahwa sebenarnya sejak SMP ia sudah berkenalan dengan tulisan nonfiksi.
Taufik sadar bahwa perhatian saya pada buku atau bacaan dimulai dari keasyikan saya dengan cerita yang awalnya sederhana dan biasa saja, lalu disusul oleh kisah yang mendatangkan keheranan, dan kemudian kisah rekaan yang bisa dibayangkan seakan-akan pernah terjadi.

1.22 Pengalamanku dengan Buku (Yohanes Surya)

Yohanes senang membaca karena menikmati bacaan itu. Kebiasaan membaca ini sudah tertanam sejak kecil. Mungkin ini akibat pengaruh kakak-kakaknya yang juga gemar membaca. Yang pasti mereka sudah menularkan kegemaran itu sejak Yohanes baru mulai belajar membaca.

Yohanes merasa bersyukur dan beruntung sekali dapat membaca dan memiliki begitu banyak buku.. Ia merasa semua buku yang pernah dibacanya amat besar manfaatnya baginya. Walaupun buku-buku itu hanya buku-buku novel, dongeng atau bacaan ringan lainnya. Buku-buku ini membangun karakter dan mengembangkan dirinya. Buku-buku ini pulalah yang membentuknya menjadi seorang yang tidak fanatik pada suatu subjek tertentu saja.
Tanpa disadari kegemarannya membaca sudah menambah lagi satu kelebihan bagi diri Yohanes. Ia bisa berpikir lebih kreatif dan aktif dalam mencari penyelesaian suatu persoalan. Kalau saja ia tidak terbiasa membaca sendiri, tentu ia akan langsung mencari bantuan dari orang lain dan itu tidak melatih kreativitasnya.

II.Kesimpulan

Bisa dibilang, buku “bukuku kakiku” ini sebagai kumpulan pengalaman tokoh-tokoh penting di Indonesia bercinta dengan buku. Dalam buku ini, diceritakan kehidupannya si tokoh mulai mengenal buku hingga menjadikan buku sebagai sumber inspirasi utama dan kebutuhan pokok dalam hidupnya.

Inti pesan dari tokoh-tokoh tsb. ialah minat baca yang tinggi merupakan salah satu faktor utama yang membuat kita bisa berhasil dalam menghadapi tantangan kehidupan. Melalui buku, kita bisa mempelajari banyak hal yang belum kita mengerti sebelumnya. Penjelasan mengenai semua masalah di dunia bisa kita dapatkan hanya lewat sebuah buku, tanpa harus bertemu langsung dengan ahlinya.


Selain itu, tumbuhnya kebiasaan membaca intinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Disinilah peran keluarga sebagai tempat pembelajaran paling dini.

ITALO CALVINO (1923-85), sastrawan Italia terkemuka, pernah menulis cerpen berjudul “Petualangan Seorang Pembaca”, sebuah cerpen tentang seorang bookaholic (kutu buku). Dikisahkan bookaholic ini sampai rela memanggul-manggul sepedanya, mencari tempat ideal untuk membaca, di tempat tersembunyi, di pantai sunyi, sambil tidur-tiduran. Begitu terpukaunya dia oleh buku, sampai ketika bertemu dengan seorang gadis yang menarik hatinya di pantai itu, dia tetap berusaha agar tak terganggu oleh kedatangannya. Benar saja, meski akhirnya mereka bercinta di pantai itu, matanya tetap tak rela kehilangan baris-baris cerita yang sedang menuju klimaks, tangannya terus berusaha mempertahankan batas halaman yang tengah dibacanya, padahal dia sendiri kerepotan bergumul dengan gadisnya. Kegigihannya membaca, keterpakuannya pada cerita, usaha menikmati dan mencerap bacaan itu pada akhirnya terbayar juga, dia bisa menamatkan novel tebalnya.

Mirip-mirip kisah dalam cerpen itulah isi buku tebal ini—lebih dari 450 halaman—ialah petualangan 22 pembaca-terkemuka terhadap buku-buku dan pengalaman di dunia baca-tulis yang mereka cintai, semacam pengakuan betapa intim dan intensnya mereka dengan buku dan bacaan. Karena merupakan bunga rampai (antologi), ditulis sejumlah orang terkemuka, isinya bisa didekati pembaca dari mana saja, bisa dinikmati secara acak, tanpa harus khawatir akan kehilangan konteks atau rasa masing-masing isinya. Semua penyumbang menghadirkan kecenderungannya sendiri, dan bersungguh-sungguh memberi bukti bahwa membaca bukanlah semata-mata mengeja, melainkan menafsir, mencari makna, mendapatkan hikmah, mencari sesuatu yang tersembunyi di balik teks, berusaha menuju ke dalam belantara wacana dan pemahaman. Mereka berupaya mendapat sesuatu, agar pengalaman baca itu berbekas dalam benak.

Karena itu jangkauan tulisan dalam buku ini bisa dikatakan sangat luas—ialah catatan personal seseorang terhadap dunia buku dan ranah-ranah sekelilingnya, misalnya budaya baca, penerbitan, perpustakaan, membina minat baca, dan lain-lain. Petualangan atas bukunya saja yang berbeda-beda. Zaman saja yang membuat tulisan ini kaya. Sejarah saja yang menciptakan masing-masing penyumbang ini berbeda. Memang, salah satu yang tidak tergantikan adalah pengalaman. Dalam buku ini “pengalaman membaca” mutlak harus dimiliki setiap bookaholic, bahwa “pengalaman membaca” itu pasti berbeda-beda bagi setiap orang, meski bacaannya bisa sama. Meski sama-sama membaca Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, pengalaman dan yang didapat setiap pembaca sangat wajar bila berbeda-beda. Para penyumbang beragam: ada sastrawan dan wartawan (jurnalis), yang memang mempertaruhkan hidupnya dari kemampuan menulis—antara lain ialah Budi Darma, Rosihan Anwar, Remy Sylado; pengusaha (Sudhamek AWS dan Jonathan Parapak); pendeta (Minda Perangin-angin); akademikus (Miriam Budiarjo, Melani Budianta); hakim (Benjamin Mangkoedilaga); ilmuwan (Mochtar Pabottingi); sejarahwan (Taufik Abdullah), peneliti (Yohanes Surya); agamawan/rohaniwan (Sindhunata); dan olahragawan (Syamsul Anwar Harahap). Beberapa diantara mereka adalah para multidisipliner, misalnya Remy Sylado: ia sastrawan, sekaligus penyair, dramawan, pemusik, filolog. Sindhunata juga begitu: dia rohaniwan yang menulis dan bersyair.

Keragaman itu diperkaya oleh etnis dan keyakinan (agama) masing-masing penulis. Penulis ini ada yang Muslim, Katolik, Protestan, mungkin juga sekular; di antara mereka ada pemeluk teguh, tapi ada juga yang tampaknya mengabaikan faktor agama. Ada yang beretnis Cina, Jawa, Minang, Batak, Manado, Makassar, Sunda. Artinya adalah bahwa berbagai perbedaan itu ternyata bukan masalah, melainkan menjadi nuansa keragaman keindahan, dan semua itu bisa disatu-padukan dengan harmonis dalam buku. Tak ada prasangka antaretnis.

Jika ada yang mau merenungkan dan menyadari betapa perbedaan bisa menyatu dalam ranah tertentu, yang juga konkret, tentu menyedihkan menyaksikan dalam dunia nyata kadang-kadang idealitas itu bisa hancur dilahap amarah, iri hati, atau kebencian massa yang kabur dan gagal dikompromikan. Para kontributor ingin menegaskan bahwa itu semua bisa terjadi karena buku. Dibaca dari manapun buku ini bagaimanapun tetap mempesona, apalagi pengalaman itu ditulis sangat dalam dan luas. Seperti petualangan baca Mochtar Pabottingi—ia menulis pengalamannya dengan buku sebanyak 78 halaman, terpanjang di antara pemaparan semua orang. Remy Sylado karena kembelingannya berkali-kali menggunakan diksi tak lazim—barangkali dia sedikit memaksa agar pembaca mau membuka kamus Indonesia. Bahkan Jakoeb Oetama dan Fuad Hassan berbeda sedikit saja cara menulisnya daripada para penyumbang, sedangkan penekanannya sama. Dibaca acak meloncat-loncat per bab pun buku ini tak apa-apa. Selain memang dirancang berdiri sendiri-diri, pada dasarnya pengalaman mereka dengan buku, beserta petualangan menakjubkan itu, begitu beragam dan kadang-kadang tak terduga sama sekali. Bunga rampai ini bisa jadi bisa memberi inspirasi pada banyak khalayak bahwa buku bisa menjangkau seluruh kalangan, bahwa pada titik tertentu—sebelum menjadi sosok terkemuka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya—mereka juga pembaca biasa, yang awalnya bisa sama-sama terpukau oleh petualangan karya Dr. Karl May atau Asmaraman Khoo Ping Ho. [Anwar Holid]

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

Doa untuk Anak-anak

Kenapa saya suka membaca

Memori pentauliahan Intake 21 UPM..