Sinopsis Bukuku Kakiku (C&P)
![]() |
Judul
Buku : Bukuku Kakiku
Editor : St. Sularto, Wandi S. Brata, Pax
Benedato
Diterbitkan Oleh : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Penerbitan : 2004
Muka Surat :437
I. Ringkasan
I.1Buku dalam Hidup Saya (Ajip Rosidi)
Buku
bagi saya adalah kebutuhan. Buku menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
keseharian saya, terutama sejak saya drop out dari SMA. saya ingin membuktikan
bahwa saya bisa hidup tanpa ijazah. Untuk itu, saya harus membaca buku
sebanyak-banyaknya, lebih dari yang dibaca oleh mereka yang tamat SMA. Saya
yakin kalau saya memperlihatkan prestasi sebagai hasil bacaan saya, saya tidak
akan menemui kesulitan dalam hidup.
I.2Huruf
demi Huruf (Ariel Heryanto)
Kebudayaan baca-tulis berpijak pada hal-hal
yang bersifat material, jasmaniah, dan historis di lajur kendali dan pilihan
hidup orang. Pengalaman buruk terutama di masa orde baru ketika 2000 lebih
judul buku dibakar berdampak besar pada paradigma masyarakat Indonesia terhadap
buku.
Andaikan melek huruf telah memberdayakan dan
membudayakan lebih banyak rakyat Indonesia, sulit membayangkan masih akan
berkobar nafsu membakar buku orang lain. Jika merasa “terbakar” oleh isi
tulisan orang lain, mereka yang melek huruf tentunya lebih suka mengangkat pena
dan berpolemik.
I.3Membaca
dan Menulis Sebuah “Personal Account” (Azyumardi Azra)
Bagi
saya, karya-karya sastra memiliki makna dan fungsi tersendiri. Saya merasa,
membaca karya-karya sastra membuat manusia lebih human, lebih manusiawi, dan
lebih arif dalam memahami masalah-masalah dan sekaligus misteri-misteri anak
manusia.
Bagi
saya, membaca dan menulis tidak bisa dipisahkan ; membaca, mengendapkan semua
yang dibaca, merefleksikannya, lalu menuliskannya dengan mempertimbangkan
konteks dan relevansinya dengan lingkungan sosial yang terus berubah.
Membaca
dan menulis memerlukan etos, komitmen, dan konsistensi. Terdapat cukup banyak
orang di kalangan kita yang rajin membaca, tetapi tidak punya etos dan
keterampilan menulis. Ada juga yang punya keterampilan menulis, tetapi tidak
atau kurang memiliki etos, komitmen, dan konsistensi baik dalam membaca dan
menulis.
I.4Ortu,
Guru, dan Buku (Benjamin Mangkoedilaga)
Kegemaran
membaca buku akan lebih berkembang bila disertai dengan penguasaan bahasa.
Meski demikian kegemaran membaca adan mempelajari bahasan haruslah dilandasi
dengan ketekunan dan minat yang tinggi karena umumnya butuh waktu yang amat
panjang. Kita pun harus menyadari bahwa pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang
kita peroleh, terutama melalui pendidikan formal, selalu terasa tidak memadai.
Dunia
terus berputar, pengetahuan dan ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai zaman,
dan bagi orang yang bijak tidak ada batas usia untuk tetap belajar dan menuntut
ilmu atau memperluas dan mengembangkan wawasan.
Saya
masih ingat petuah salah seorang guru besar saya Prof. Dr. Mr. Hazairin bahwa
tidaklah perlu buku-buku yang kita miliki itu pernah kita baca semuanya. Yang
penting adalah kita harus dapat menemukan penjelasannya dengan cepat saat kita
memerlukannya.
1.6
Budaya Bahasa (Daoed Joesoef)
Demokrasi
hanya akan berkembang di suatu masyarakat yang warganya adalah para pembaca,
bukan hanya sekedar pembicara. Hal tersebut wajar karena dalam demokrasi pasti
terdapat kehidupan politik yang berpasangan dengan individu otonom yaitu
seseorang yang tidak berjiwa bebek, mampu berpikir, dan bertindak sendiri.
Modal
bagi pembentukan individu otonom ini adalah kebiasaan membaca dan hal-hal lain
yang berkaitan. Jadi, arti konstruktif dari kegiatan membaca baru muncul jika
dikaitkan dengan kegiatan menulis.
Bagi
Saya, membaca dan menulis bukan hanya hobi tapi sudah menjadi kebutuhan pokok.
Dengan sadar dan sengaja saya menganggarkan uang dan menyediakan waktu untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
Secara
nasional, masalah tersedianya perbukuan nasional bisa terpecahkan jika budaya
baca di masyarakat kita sudah berkembang. Karena pembudayaan itu membutuhkan
waktu yang relatif lama, konsistensi dalam penilaian dan penghargaan,
keteladanan alami dan bisa yang dibiasakan.
Konsekuensinya,
budaya baca harus dimulai di rumah, sedini mungkin. Membaca harus dibiasakan
oleh orangtua pada anak-anak, sehingga hal itu dirasakan sebagai suatu
kebutuhan yang harus dicari.
1.7
Bukuku, Surgaku (Franz Magnis – Suseno)
Saya
ingat kebiasaan Ibu selalu membacakan sebuah buku untuk anak-anaknya setiap
malam. Dalam keluarga, ibu paling hebat dalam membacakan buku dengan cara
menyampaikan yang baik.
Dari
kebiasaan itu, kami sekeluarga sejak kecil sudah menjadi pembaca yang rajin.
Buku-buku yang ibu berikan kepada saya untuk dibaca adalah buku-buku
petualangan. Lalu seiring usia, secara bertahap saya membaca buku-buku yang
lebih ilmiah dan saya sangat menikmatinya.
Membaca
benar-benar menjadi surga buat saya, karena dapat memperluas cakrawala,
merupakan pelepasan emosional, dan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan.
Membaca juga berarti membiarkan diri ditarik keluar dari penjara perhatian yang
berlebihan pada diri sendiri, melihat dunia, manusia, mengalami tantangan,
terangsang dalam fantasi, dan semangat dalam melakukan sesuatu.
Salah
satu efek samping dari buku-buku adalah bahwa saya dapat berkenalan, meski dari
sudut pandang para penulis, dengan sebagian kecil sastra di seluruh dunia.
1.8
Pembelajar dan Pelayan Melalui Buku (Jonathan Parapak)
Sewaktu
kecil, saya tak pernah bersentuhan dengan buku. Baru saat SMP saya mulai
berkenalan dengan buku-buku pelajaran sederhana. Walaupun tak memiliki
buku-buku referensi tambahan, untungnya saya mendapat beasiswa Colombo Plan
untuk studi ke Australia.
Di
sini peranan buku sangat membantu. Semangat saya untuk belajar dari membaca
buku-buku bukan hanya yang menyangkut masalah kuliah tapi juga menyangkut
masalah lain. Membaca buku dan belajar seumur hidup merupakan suatu keharusan
bagi setiap orang untuk terus bisa mengikuti perkembangan di bidang yang
digelutinya.
Lalu
saya menemukan sebuah fakta yang aneh, yaitu semakin banyak kita membaca buku
dan belajar, semakin kita sadar bahwa banyak sekali yang tidak kita ketahui.
Semakin banyak buku yang dibaca, semakin kita sadar bahwa kita bisa berkenalan
tanpa perlu bertatap muka sekaligus belajar dari pemikir dan pakar unggulan
dunia.
Bergumul
sendirian akan sangat melelahkan dan mungkin pula berakhir dengan frustasi.
Oleh karena itu, belajar dari buku-buku yang ditulis oleh para pakar dan
penulis unggulan dunia akan sangat bermanfata bagi pengembangan wawasan dan
kompetensi profesional serta kearifan dalam menghadapi begitu banyak masalh dan
tantangan.
1.10
Peranan Buku dalam Hidup Saya (Lin Che Wei)
Ada
tiga pengalaman yang membuat saya tertarik kepada buku. pertama dan utama
adalah bagaimana buku telah mempengaruhi hidup saya baik dalam perjalanan karier
saya maupun dalam pembentukan karakter. Kedua, berdasarkan pengalaman saya
sebagai seorang yang pernah mencoba menjalankan bisnis toko buku dan mengamati
pengaruh buku terhadap suatu bangsa. Ketiga, sebagai hasil pengamatan saya
sebagai seorang ayah di mana buku telah sangat berguna sebagai alat untuk
mendidik dan berinteraksi dengan kedua anak saya.
Meskipun
bisnis buku saya berumur pendek, pengalaman membuka toko buku telah membawa
saya ke berbagai pelosok dunia, antara lain India dan Jerman. Saya mengamati
bahwa keberhasilan India dalam menanamkan kecintaan terhadap buku disebabkan
oleh besarnya dukungan politik. Di India, saya melihat bagaimana minat baca
sangat besar dan buku bisa dijual kepada masyarakat dengan sangat murah.
saya
merasakan bahwa membaca buku lebih mengembangkan imajinasi, dan hal ini membuat
saya menjadi lebih kreatif. Menurut saya, buku yang baik adalah buku yang
memiliki tiga karakteristik penting. Pertama, buku tersebut dapat menghibur dan
mengasyikkan. Kedua, buku tersebut harus mempunyai fungsi mengajarkan sesuatu.
Ketiga, buku tersebut harus membuat kita tergerak untuk melakukan atau
mempraktikkan sesuatu.
1.11
Pada Mulanya Sebuah Buku (Melani Budianta)
Saya
percaya bahwa keasyikan membaca buku-buku berawal dari keasyikan masuk ke dunia
cerita. Kepercayaannya ini diperoleh sebagaimana latar belakang masa lalunya
serta lingkungan keluarganya.
Saya
ikut menyoroti zaman di mana buku-buku hidup dalam masa kesaktiannya. Seiring
perkembangan zaman dan teknologi, saya khawatir bahwa puncak kemapanan
buku-buku sudah lewat. Ancaman tehadap dunia perbukuan yang lebih serius bukan
datang dari teknologi, melainkan dari manusia yang dikhawatirkan kurang
terdorong untuk membaca.
Menurut
Saya, perlombaan melek huruf tidak akan menghasilkan generasi pecinta buku jika
membaca sekedar menjadi sarana untuk memamerkan nilai rapor peraih ranking. Hal
yang terlupakan adalah hilangnya keasyikan proses membaca itu sendiri dan
keasyikan mengalami keajaiban yang datang dari buku-buku. Proses mengalami buku
dapat muncul dari, menyaksikan keajaiban cerita yang muncul dari baris-baris
hitam di atas halaman buku-buku, merasakan keakraban sensori dengan unsur-unsur
kebendaan buku itu sendiri dan mengalami fungsi sosial dengan buku.
1.13
What Makes You Tick (Miriam Budiarjo)
Miriam
telah mengalami tiga zaman, yaitu zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang,
dan kemerdekaan. Pada zaman kolonial Belanda, saya menemukan jurang yang besar
secara global antara dunia “Barat” dan “Timur”.
Pada
zaman pendudukan Jepang, rasa nasionalisme membuat Miriam menjadi orang yang
sangat sadar politik. Pengalamannya bertemu dengan tokoh-tokoh dunia dan
kesempatan menimba ilmu di luar negeri membuat ia tertarik dengan ilmu politik
dan mulai mendalaminya.
Dari
pengalamannya menjadi “Saksi Tiga Zaman”, boleh dikatakan gaya menulisnya tidak
terpengaruh oleh tokoh tertentu, tetapi oleh keadaan sekeliling yang beberapa
kali berubah secara drastis. Pengalamannya menimbulkan cita-cita untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai pengalaman praktis juga telah memupuk
kepeduliannya pada masalah politik.
1.14
Dari Rumah, Karakter, Dari Buku, Cakrawala (Mochtar Pabottinggi)
Awalnya,
sang Ayah menjadi sosok yang sangat mempengaruhi karakter Mochtar. Cakrawalanya
pertama kali terbuka lewat buku teks Bahasaku. Buku itupun mengintenskan
kecintaannya pada bahasa Indonesia dan dorongan untuk selalu berusaha
menggunakannya secara baik dan benar.
Ia
juga mengikuti majalah Prisma, Basis, Encounter, Budaja Djaja, Horison dan
Dialogue, harian Kompas dan Indonesia Raya untuk merangsang kehidupan
intelektual dan kesusasteraannya. Melalui pengalamannya di mancanegara, ia
melahap berbagai macam buku untuk memperkaya pengetahuannya. Selanjutnya ia
mulai menulis berbagai puisi dan disertasi.
Menurutnya,
karakter dan cakrawala merupakan hasil internalisasi dari rumah,
lingkungan-pengalaman, dan buku-buku sebagai hasil dialektika yang dinamis.
Ayah menjadi sosok yang sangat mempengaruhi karakter Mochtar. Cakrawalanya
pertama kali terbuka lewat buku teks Bahasaku.
1.15
Saya dan Buku dan Teater dan Musik dan Koran dan Seterusnya (Remy Sylado)
Awalnya
sosok Remi menjadi seorang kutu buku dikarenakan lingkungan tempat tinggalnya
yang cukup terisolasi dan tak tersentuh peradaban kota. Meski senang bermain
musik, Remy muda tidak malas membaca buku.
Buku
pertama yang paling berharga baginya adalah Anthology of Japanese Poems oleh
Miyamori Asataro.Meski senang bermain musik, Remy muda tidak malas membaca
buku. Barulah ketika menemukan Buku cerita The Pilgrims Progress karya John
Bunyan, ia terdorong untuk mulai menulis.
Dengan
buku, bukan hanya sastra, melainkan musik, senirupa dan teater yang ia bangun
melalui pementasan-pementasan menjadi suatu keterpaduan yang mufrad. Menurut
Remy, tampaknya hanya buku yang paling pantas diceritakan dengan bangga oleh
manusia beradab.
Ia
juga mengutip pendapat yang dicetuskan oleh Sun Yat Sen bahwa yang sesungguhnya
membedakan manusia dengan hewan adalah buku.
1.16 Dengan Buku Menjadi Otodidak Sepanjang
Hayat
Oleh: Rosihan Anwar
Kecintaan
Rosihan pada buku berawal pada saat mengikuti Kegiatan belajar di bawah asuhan
Meneer Jan. Kegiatan tsb. membuat ia rajin membaca buku tentang sejarah dan
agama Islam yang ada di bibilotiknya. Dengan demikian ia mendapatkan sebuah
dimensi baru dalam pengetahuannya.
Kini,
Ia mengaku sudah tua, tetapi masih bisa membaca. Buku penting bagi pencerahan
diri. Dengan membaca buku, ia mendidik dirinya sendiri. Ia tidak menyandang
gelar kesarjanaan. Ia otodidak. Dengan buku ia menjadi otodidak sepanjang
hayatnya dengan segala keterbatasannya.
1.18
Ambil dan Bacalah (Sindhunata)
Betapa
luas kesempatan yang diberikan sebuah buku untuk mengembangkan kreativitas
kita. Jelas membaca itu bukan suatu proses yang steril dan pasif belaka, tetapi
proses yang aktif dan kreatif. Akan tetapi, membaca bukan hanya suatu proses
pergulatan kreatif yang berat, melainkan juga proses yang indah dan romantis.
Menurut
Proust, membaca adalah sesuatu yang berkaitan dengan subjek, yaitu pembaca. Di
sini pembaca tidak terlalu peduli, apa isi dari buku yang dibacanya. Yang
penting, buku itu bisa membangkitkan, merangsang, dan menyenangkan kerinduan
yang ia punyai dalam dirinya.
1.19
Guru di Luar Kampus (Sudhamek AWS)
Saat
kita tenggelam dalam bacaan, saat itu seolah-olah buku telah berubah perannya
menjadi seorang guru yang sangat efektif mengajar bahkan membentuk pola pikir
kita karena pada saat itu hambatan psikis hampir tidak terjadi sama sekali.
Intinya,
buku, sebagai “guru”, sangat efektif untuk mengubah suatu keadaan, yaitu dari
tidak tahu menjadi tahu. Sesungguhnya ini adalah esensi proses pembelajaran
(learning proses). Peran ini sangat efektif dijalankan oleh buku yang kita baca
dengan sungguh-sungguh, karena buku menjadi suatu alat yang baik sekali bagi
pembacanya.
Wajar
saja karena sewaktu kita membaca ada sebuah proses interaktif antara pikiran
pembaca dengan pikiran pengarang secara langsung melalui indera penglihatan
kita. Proses itu terjadi dengan efektif, sehingga pikiran, pandangan, konsep,
dan segala sesuatu yang dituangkan oleh penulis ke dalam bukunya akan mengalir
secara bebas hambatan ke dalam pikiran si pembaca menembus batas-batas
privacy-nya.
1.21
Sekolah, Buku, dan Seuntai Kenangan (Taufik Abdullah)
Sastra
bukan harapannya memang, tetapi lewat sastralah Taufik mulai merasakan nikmat
berkenalan dengan dunia teks. Kini ia ingat juga bahwa sebenarnya sejak SMP ia
sudah berkenalan dengan tulisan nonfiksi.
Taufik
sadar bahwa perhatian saya pada buku atau bacaan dimulai dari keasyikan saya
dengan cerita yang awalnya sederhana dan biasa saja, lalu disusul oleh kisah
yang mendatangkan keheranan, dan kemudian kisah rekaan yang bisa dibayangkan
seakan-akan pernah terjadi.
1.22
Pengalamanku dengan Buku (Yohanes Surya)
Yohanes
senang membaca karena menikmati bacaan itu. Kebiasaan membaca ini sudah
tertanam sejak kecil. Mungkin ini akibat pengaruh kakak-kakaknya yang juga
gemar membaca. Yang pasti mereka sudah menularkan kegemaran itu sejak Yohanes
baru mulai belajar membaca.
Yohanes
merasa bersyukur dan beruntung sekali dapat membaca dan memiliki begitu banyak
buku.. Ia merasa semua buku yang pernah dibacanya amat besar manfaatnya
baginya. Walaupun buku-buku itu hanya buku-buku novel, dongeng atau bacaan
ringan lainnya. Buku-buku ini membangun karakter dan mengembangkan dirinya.
Buku-buku ini pulalah yang membentuknya menjadi seorang yang tidak fanatik pada
suatu subjek tertentu saja.
Tanpa
disadari kegemarannya membaca sudah menambah lagi satu kelebihan bagi diri
Yohanes. Ia bisa berpikir lebih kreatif dan aktif dalam mencari penyelesaian
suatu persoalan. Kalau saja ia tidak terbiasa membaca sendiri, tentu ia akan
langsung mencari bantuan dari orang lain dan itu tidak melatih kreativitasnya.
II.Kesimpulan
Bisa
dibilang, buku “bukuku kakiku” ini sebagai kumpulan pengalaman tokoh-tokoh penting
di Indonesia bercinta dengan buku. Dalam buku ini, diceritakan kehidupannya si
tokoh mulai mengenal buku hingga menjadikan buku sebagai sumber inspirasi utama
dan kebutuhan pokok dalam hidupnya.
Inti
pesan dari tokoh-tokoh tsb. ialah minat baca yang tinggi merupakan salah satu
faktor utama yang membuat kita bisa berhasil dalam menghadapi tantangan
kehidupan. Melalui buku, kita bisa mempelajari banyak hal yang belum kita
mengerti sebelumnya. Penjelasan mengenai semua masalah di dunia bisa kita
dapatkan hanya lewat sebuah buku, tanpa harus bertemu langsung dengan ahlinya.
Selain
itu, tumbuhnya kebiasaan membaca intinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sekitar. Disinilah peran keluarga sebagai tempat pembelajaran paling dini.
ITALO
CALVINO (1923-85), sastrawan Italia terkemuka, pernah menulis cerpen berjudul
“Petualangan Seorang Pembaca”, sebuah cerpen tentang seorang bookaholic
(kutu buku). Dikisahkan bookaholic ini sampai rela memanggul-manggul
sepedanya, mencari tempat ideal untuk membaca, di tempat tersembunyi, di pantai
sunyi, sambil tidur-tiduran. Begitu terpukaunya dia oleh buku, sampai ketika
bertemu dengan seorang gadis yang menarik hatinya di pantai itu, dia tetap
berusaha agar tak terganggu oleh kedatangannya. Benar saja, meski akhirnya
mereka bercinta di pantai itu, matanya tetap tak rela kehilangan baris-baris
cerita yang sedang menuju klimaks, tangannya terus berusaha mempertahankan
batas halaman yang tengah dibacanya, padahal dia sendiri kerepotan bergumul
dengan gadisnya. Kegigihannya membaca, keterpakuannya pada cerita, usaha
menikmati dan mencerap bacaan itu pada akhirnya terbayar juga, dia bisa
menamatkan novel tebalnya.
Mirip-mirip
kisah dalam cerpen itulah isi buku tebal ini—lebih dari 450 halaman—ialah
petualangan 22 pembaca-terkemuka terhadap buku-buku dan pengalaman di dunia
baca-tulis yang mereka cintai, semacam pengakuan betapa intim dan intensnya
mereka dengan buku dan bacaan. Karena merupakan bunga rampai (antologi),
ditulis sejumlah orang terkemuka, isinya bisa didekati pembaca dari mana saja,
bisa dinikmati secara acak, tanpa harus khawatir akan kehilangan konteks atau
rasa masing-masing isinya. Semua penyumbang menghadirkan kecenderungannya
sendiri, dan bersungguh-sungguh memberi bukti bahwa membaca bukanlah
semata-mata mengeja, melainkan menafsir, mencari makna, mendapatkan hikmah,
mencari sesuatu yang tersembunyi di balik teks, berusaha menuju ke dalam
belantara wacana dan pemahaman. Mereka berupaya mendapat sesuatu, agar
pengalaman baca itu berbekas dalam benak.
Karena
itu jangkauan tulisan dalam buku ini bisa dikatakan sangat luas—ialah catatan
personal seseorang terhadap dunia buku dan ranah-ranah sekelilingnya, misalnya
budaya baca, penerbitan, perpustakaan, membina minat baca, dan lain-lain.
Petualangan atas bukunya saja yang berbeda-beda. Zaman saja yang membuat
tulisan ini kaya. Sejarah saja yang menciptakan masing-masing penyumbang ini
berbeda. Memang, salah satu yang tidak tergantikan adalah pengalaman. Dalam
buku ini “pengalaman membaca” mutlak harus dimiliki setiap bookaholic,
bahwa “pengalaman membaca” itu pasti berbeda-beda bagi setiap orang, meski
bacaannya bisa sama. Meski sama-sama membaca Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer, pengalaman dan yang didapat setiap pembaca sangat wajar bila
berbeda-beda. Para penyumbang beragam: ada sastrawan dan wartawan (jurnalis),
yang memang mempertaruhkan hidupnya dari kemampuan menulis—antara lain ialah
Budi Darma, Rosihan Anwar, Remy Sylado; pengusaha (Sudhamek AWS dan Jonathan
Parapak); pendeta (Minda Perangin-angin); akademikus (Miriam Budiarjo, Melani
Budianta); hakim (Benjamin Mangkoedilaga); ilmuwan (Mochtar Pabottingi);
sejarahwan (Taufik Abdullah), peneliti (Yohanes Surya); agamawan/rohaniwan
(Sindhunata); dan olahragawan (Syamsul Anwar Harahap). Beberapa diantara mereka
adalah para multidisipliner, misalnya Remy Sylado: ia sastrawan, sekaligus
penyair, dramawan, pemusik, filolog. Sindhunata juga begitu: dia rohaniwan yang
menulis dan bersyair.
Keragaman
itu diperkaya oleh etnis dan keyakinan (agama) masing-masing penulis. Penulis
ini ada yang Muslim, Katolik, Protestan, mungkin juga sekular; di antara mereka
ada pemeluk teguh, tapi ada juga yang tampaknya mengabaikan faktor agama. Ada
yang beretnis Cina, Jawa, Minang, Batak, Manado, Makassar, Sunda. Artinya
adalah bahwa berbagai perbedaan itu ternyata bukan masalah, melainkan menjadi
nuansa keragaman keindahan, dan semua itu bisa disatu-padukan dengan harmonis
dalam buku. Tak ada prasangka antaretnis.
Jika
ada yang mau merenungkan dan menyadari betapa perbedaan bisa menyatu dalam
ranah tertentu, yang juga konkret, tentu menyedihkan menyaksikan dalam dunia
nyata kadang-kadang idealitas itu bisa hancur dilahap amarah, iri hati, atau
kebencian massa yang kabur dan gagal dikompromikan. Para kontributor ingin
menegaskan bahwa itu semua bisa terjadi karena buku. Dibaca dari manapun buku
ini bagaimanapun tetap mempesona, apalagi pengalaman itu ditulis sangat dalam
dan luas. Seperti petualangan baca Mochtar Pabottingi—ia menulis pengalamannya
dengan buku sebanyak 78 halaman, terpanjang di antara pemaparan semua orang.
Remy Sylado karena kembelingannya berkali-kali menggunakan diksi tak
lazim—barangkali dia sedikit memaksa agar pembaca mau membuka kamus Indonesia.
Bahkan Jakoeb Oetama dan Fuad Hassan berbeda sedikit saja cara menulisnya
daripada para penyumbang, sedangkan penekanannya sama. Dibaca acak
meloncat-loncat per bab pun buku ini tak apa-apa. Selain memang dirancang berdiri
sendiri-diri, pada dasarnya pengalaman mereka dengan buku, beserta petualangan
menakjubkan itu, begitu beragam dan kadang-kadang tak terduga sama sekali.
Bunga rampai ini bisa jadi bisa memberi inspirasi pada banyak khalayak bahwa
buku bisa menjangkau seluruh kalangan, bahwa pada titik tertentu—sebelum
menjadi sosok terkemuka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya—mereka juga
pembaca biasa, yang awalnya bisa sama-sama terpukau oleh petualangan karya Dr.
Karl May atau Asmaraman Khoo Ping Ho. [Anwar Holid]
Ulasan
Catat Ulasan